Sukses Sejati Menurut Tuhan

Oleh: Gerhard Sipayung, S.T., M.Th.

  1. PENDAHULUAN

Di dunia yang penuh dengan hiruk-pikuk pencapaian, ukuran kesuksesan sering kali ditentukan oleh seberapa tinggi gelar pendidikan kita, seberapa besar pengaruh kita, atau seberapa banyak harta yang kita miliki, kita sudah jalan-jalan keluar negeri dan menunjukkan aktifitas kita di medsos dan tanpa kita sadari orang dapat salah menilai tujuan kita. Dunia memuja kebijaksanaan manusia, kekuatan, dan kekayaan sebagai simbol keberhasilan hidup, bahkan sampai ada pernyataan orang yang sudah berhasil disebut “sudah jadi orang” . Di media sosial kita sering melihat bagaimana iklan,  dan sistem nilai masyarakat modern terus-menerus menekankan pentingnya menjadi orang yang “berhasil” dalam hal-hal lahiriah. Maka tidak heran jika banyak orang bekerja tanpa henti, belajar tanpa lelah, dan bersaing tanpa peduli demi satu tujuan menjadi orang sukses menurut standar dunia.

  1. PENJELASAN

 Firman Tuhan dalam Yeremia 9:23–24 memberikan koreksi tajam sekaligus penuntun ilahi tentang makna sukses sejati dalam pandangan Tuhan. Tuhan berfirman, “Janganlah orang bijak bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya.” Ketiga hal ini (hikmat, kekuatan, dan kekayaan) bukanlah hal yang salah, Alkitab pun mencatat bahwa Salomo diberi hikmat oleh Tuhan, Daud memiliki kekuatan sebagai panglima perang, dan Abraham sangat kaya. Namun, semuanya menjadi masalah ketika manusia menjadikan hal-hal itu sebagai dasar kebanggaan dan merasa diri bernilai karena memilikinya.

 Kata “bermegah” dalam bahasa Ibrani berasal dari akar kata halal (יתהלל), yang berarti memuji atau meninggikan diri. Tuhan tidak berkenan ketika manusia menjadikan prestasi atau miliknya sebagai alasan untuk meninggikan diri, apalagi melupakan Allah yang memberikan semua itu.Tuhan tidak hanya melarang kebanggaan akan keberhasilan duniawi, tetapi Ia juga menawarkan arah yang benar: “Tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah ia bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku…” (Yeremia 9:24). Di sinilah letak inti sukses sejati.

Kata “memahami” (sakal) dan “mengenal” (yada) dalam bahasa Ibrani mengandung makna yang mendalam. “Sakal” merujuk pada pemahaman yang bijaksana yaitu sebuah hikmat spiritual untuk menilai dan menghidupi kehidupan dari perspektif ilahi. Sedangkan “yada’  menunjuk pada pengenalan yang relasional, bukan sekadar intelektual. Mengenal Allah berarti menjalin hubungan yang intim dan hidup dengan-Nya, mengalami kasih-Nya secara pribadi, dan hidup dalam ketundukan kepada-Nya setiap hari. Ini bukan soal berapa banyak ayat Alkitab yang kita hafal, tetapi seberapa jauh hidup kita diubahkan oleh firman itu.Tuhan menjelaskan siapa diri-Nya dalam ayat 24: “bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN.”

Keberhasilan Dalam Mengenal Allah

Ini adalah tiga karakter utama Allah yang harus kita kenal dan teladani jika kita mau disebut berhasil secara rohani.

Pertama,mengenal Allah yang menunjukkan kasih setia . Kasih setia (chesed) adalah kasih Allah yang tidak bersyarat, setia meskipun manusia tidak setia. Ini bukan kasih yang didasarkan pada performa manusia, melainkan kasih yang tetap teguh meskipun kita gagal dan jatuh. Mengenal Allah berarti hidup dalam kasih yang seperti itu—mengasihi tanpa pamrih, mengampuni dengan tulus, dan tetap setia dalam komitmen kepada Tuhan dan sesama.

 Kedua, mengenal Allah adalah Allah yang menegakkan keadilan (mishpat). Ini berarti bahwa Allah peduli terhadap ketidakadilan, membela orang yang tertindas, dan tidak memihak dalam penghakiman-Nya. Allah tidak pernah buta terhadap penindasan dan korupsi yang terjadi di bumi. Maka, mengenal Allah bukanlah sesuatu yang pasif. Itu berarti kita pun dipanggil untuk berdiri bersama kebenaran, membela yang lemah, dan bersuara bagi yang tak bersuara. Orang Kristen yang mengenal Allah tidak bisa tinggal diam di hadapan ketidakadilan sosial, baik di lingkungan kerja, pelayanan, maupun masyarakat.

 Ketiga, Allah adalah Allah yang mencintai kebenaran (tsedaqah). Kata ini menunjuk pada hidup yang selaras dengan kehendak Tuhan, baik secara pribadi maupun sosial. Ini mencakup integritas, kesetiaan, kejujuran, dan kehidupan yang benar di hadapan Allah dan manusia. Hidup benar bukan hanya soal tidak mencuri atau tidak membunuh, tetapi juga soal mengasihi dengan tulus, melayani tanpa pamrih, dan menjauhkan diri dari kepura-puraan rohani. Kebenaran sejati bukan sekadar etika, tetapi merupakan ekspresi dari hubungan yang benar dengan Allah.

III . PENUTUP

Melalui pengajaran ini, kita melihat bahwa ukuran keberhasilan dalam pandangan Tuhan sangat berbeda dari ukuran dunia. Dunia menilai dari penampilan luar, Tuhan menilai hati. Dunia mengagungkan yang besar, Tuhan menghargai yang setia. Dunia mengukur sukses dari apa yang kita miliki, Tuhan mengukur dari siapa yang kita kenal yaitu apakah kita sungguh-sungguh mengenal Dia. Karena itu, ketika kita merenungkan Yeremia 9:23–24, marilah kita bertanya kepada diri sendiri: Apakah aku benar-benar mengenal Tuhan? Apakah aku lebih mengejar kekayaan, pengaruh, dan pengakuan, daripada mengejar hadirat-Nya? Apakah hidupku mencerminkan kasih, keadilan, dan kebenaran Allah? Renungan hari ini mengajak kita untuk mengubah fokus hidup. Mari berhenti mengukur diri berdasarkan standar dunia. Mari mulai mengejar hal yang benar-benar bernilai kekal: pengenalan akan Allah. Kita tidak akan pernah bisa puas dengan harta, jabatan, atau reputasi. Semuanya bisa lenyap dalam sekejap. Tapi pengenalan akan Allah membawa sukacita yang tidak tergoyahkan, kekuatan yang tidak habis-habis, dan pengharapan yang kekal.Biarlah hari ini kita tidak lagi hidup untuk bermegah dalam diri sendiri, tetapi dalam pengenalan akan Tuhan. Itulah keberhasilan sejati yang tidak akan pernah dicuri oleh waktu, musuh, atau maut.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top